Pendidikan Cinta Mulai dari Hati
Awali membaca artikel ini dengan paras yang berseri dan penuh semangat. Gulirkan senyum, dan rasakan atmosfir kebahagiaan itu. Berbahagialah kita yang terus mensyukuri pemberian hati yang bersih. Berbahagialah hidup bila dibingkai dengan hati yang tulus. Berbahagialah jiwa yang tetap memelihara hati dalam menjalankan pekerjaan sebagai bentuk ibadah kita kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Dengan kebersihan dan ketulusan hati yang terpelihara, kita berupaya memberikan kontribusi nilai yang bermanfaat bagi semua orang, dan terlebih lagi siap menjadi sosok yang pantas diteladani dalam kehidupan.
Sekarang, ambillah waktu untuk berhening sembari mengingat-ingat, saat kecil pertama kali diperkenalkan pada seorang guru di tingkat Taman Kanak-kanak atau Sekolah Dasar? Bayangkan, senyum manisnya terlihat sejuk menyambut kehadiran kita. Dengan penampilannya yang sederhana, wangi, dan perkataannya yang lembut, seolah mewakili semangatnya bersedia menjadi bagian dari masa kecil kita.
Hal senada dengan kedua orangtua yang sangat gembira dan antusias melepas kita, seolah-olah mereka mengikhlaskan sepenuh hati anak manisnya dididik sang guru. Dua kekuatan keikhlasan pun berpadu, tentunya akan melahirkan semangat yang dahsyat bagi kita untuk memulai pengalaman hidup. Pengalaman hidup bersosialisasi dan mendapatkan nilai-nilai kebaikan melalui proses pembelajaran. Dan saat itu sebagai anak kita telah menemukan rumah kedua, dan guru pun telah menjadi orangtua kedua dalam kehidupan kita.
Sang guru selanjutnya melakonkan peran seperti ayah yang memberi terang dan payung pada rumah kita, atau seperti ibu yang memandikan kita dengan celoteh indah, pujian dan nasihat. Peran multifungsi yang dimiliki sang guru, tidak heran kalau sang siswa menaruh kagum dan menganggapnya sebagai sosok yang hebat. Sosok yang sangat dirindukan untuk menemaninya mengisi hari. Bahkan tidaklah berlebihan bila kerap siswa lebih mendengar dan membenarkan perkataan sang guru daripada perkataan ayah dan ibunya di rumah. Siswa lebih merasakan kegembiraan dan kedamaian bila bersama guru. Posisi guru boleh jadi menjadi superhebat layaknya tokoh Superman dalam film. Banyak nilai-nilai yang diperolehnya dapat membentuk dan menumbuhkembangkan psikisnya di sekolah, dibanding di rumah. Terutama bagi orangtua yang sehari-harinya dijejali rutinitas pekerjaan di luar rumah.
Sampai di sini, sang guru telah teramat cerdas memainkan perannya. Mendidik dengan hati. Naluri seorang ayah atau ibu pun hadir dengan kekuatan hati. Guru pun tidak segan-segan membantu siswa merapikan baju, rambut, dasi atau jilbabnya yang tidak rapi. Mendampingi dan memberi pertolongan awal saat siswa lelah dan sakit. Produk keikhlasan yang berwujud sikap dan perilaku guru berbuah pengaruh yang positif dalam membelajarkan anak. Hal ini sangat sesuai dengan makna pendidikan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Kondisi ideal pendidikan memiliki sistem yang ditata rapi, namun tidak jarang kita menemukan potret buram yang justru dimainkan sang guru. Kekuatan citra positif dan predikat guru sebagai pengemban dan sutradara panggung pendidikan kerap digugat dan dipersoalkan kembali, bila sikap dan perilaku belum atau tidak sepenuhnya mencerminkan sosok yang di-gugu dan ditiru. Meski pemainnya hanya segelintir, namun masyarakat kerap menggeneralisasi.
Artikel lengkap dapat di download disini.
Tag:eksistensi, integritas, pendidikan
1 Comment
Kerenn..